Pria itu tidak pernah berkata ia mencintaiku, sedikit pun. Namun aku kadang mampu merasakan dari kekuatirannya, kemarahannya padaku, dan segala pertengkaran yang kami lakoni setiap hari layaknya pertengkaran anjing dan kucing. Namun, toh aku tidak beranjak dari sisinya. Aku tahu aku mencintainya, namun aku tak pernah tau apa dia mencintaiku. Haruskah aku merasa ragu?
Kerap kali aku mencuri perhatiannya dengan berbuat hal-hal yang justru aku tahu, dia akan murka. Dia akan marah – dan seakan ingin mengeyahkanku jauh-jauh dari hidupnya. Namun entah kenapa aku masih enggan menyingkir- layaknya rumput liar yang saban hari dipotongnya – namun para kumbang, kupu-kupu, atau anjing-anjing yang tak kenal permisi- maupun sang angin nakal itu membawa bibitku yang ditebar begitu saja, membiarkanku bercumbu dengan tanah dan memeluk hujan untuk tetap tumbuh- dan masih saja setia menunggu untuk jadwal potongan berikutnya.
Semakin hari – semakin panjanglah aku, sehelai rumput liar, seolah berlari mengelilingi pria itu layaknya lingkaran setan. Tak jarang ia akan menangkapku, memotongku, namun Ia tak punya pilihan, Karena aku tetap tumbuh – dan aku tak ingin berpaling darinya, walaupun itu bukan jaminan dia akan membiarkan taman kecil di depan rumahnya bebas dari aku.
Kadang ia lelah. Ia tak lagi menangkapku dari hembusan angin yang menggodanya dan membiarkanku menari di tengah taman itu seorang diri. Terkadang ia hanya menjadi penonton yang setia, pura-pura baik hati dengan tidak menoleh padaku dan membiarkan cumbuanku dengan tanah semakin menjadi dan hujan pun semakin setia menemaniku.
Tunggu, ini bukan cerita rumput liar, tanah, hujan, atau angin nakal. Ini ceritaku dengan pria itu – pria yang tak pernah mengatakan ia mencintaiku. Pria yang terlalu acuh membiarkan cintaku lenyap layaknya biru langit yang lega setelah melepaskan kristalnya yang menyejukkanku. Tidak. Aku tidak butuh semua kebahagiaan nyata itu. Aku perlu satu kata pembuktian darinya, cinta.
Iya. Iya. Cukup! Banyak sudah aku mendengar bahwa cinta tak perlu diungkapkan, namun itu mereka, itu kalian, itu pria lain yang kerap berkata cinta tidaklah berujung bunga, dan bunga akan tersudut mati apabila menunggu kumbang. Ya ya. Itu mampu kuterima dengan logika. Cinta memang rumit, seperti buah simalakama. Diungkapkan - terkadang takut, apabila tidak diungkapkan- menimbulkan resiko bahwa cinta itu akan lenyap dan menghilang bagai debu. Namun… apabila aku tak mampu merasakan cinta, apa yang akan membuatku hidup?
Aku mengambil lembaran kain putih itu dan mengikatnya erat di pelipisku. Iya, kata orang cinta penuh perjuangan, jadi aku harus berjuang! Aku berusaha bersikap semanis mungkin agar pria itu sejenak saja mau berbincang denganku, sisakan sedikit saja waktu untukku, berkata satu kata saja agar buatku tersenyum. Namun segala yang kulakukan tidak ada artinya di matanya. Seperti biasa kami lagi-lagi setiap hari layaknya kucing dan anjing – bebuyut yang tak pernah berbaikan. Akhirnya, ku putuskan lagi untuk menjadi penghias tamannya- rumput liar yang pasrah.
***
Auww!!
Aku berteriak keras karena seseorang telah menginjakku. Aku baru saja ingin berubah lagi menjadi kucing yang selalu diajak perang mulut oleh pria itu. Namun, yang menginjakku bukan dia, melainkan seorang wanita. Aku terpaku menatapnya. Kubiarkan dia menginjakku semena-mena, semau hatinya, sesukanya. Sambil bertanya-tanya dalam hati, mengapa pria itu membiarkan wanita ini menginjak-nginjak rumput liar seperti aku. Apa dia tidak tahu, pria itu pun tak tega menginjakku seperti ini. Karena pria itu hanya memotongku saja, ia membiarkan akarku hidup, merelakan hujan menari denganku dan memberiku kesempatan bercumbu dengan tanah coklat yang subur. Namun… nampaknya sekarang, aku harus benar-benar berbuat sesuatu.
Angin meniupku perlahan sore itu, membiarkanku menyanyi lagu yang luar biasa sendu. Pilunya dukaku tak mungkin ia rasa- kala sang wanita itu mencabut akarku dan ia buang jauh-jauh. Tak hanya itu saja, ia mulai menyalakan api. Aku terpana melihat nyala-nyala api yang ia hidupkan melalui daun-daun kering yang berjatuhan di taman kecil itu. Aku tak menyangka wanita ini yang akan datang untuk menjadi penghalang uniknya hubunganku dengan sang pria yang tak bisa kutinggalkan walau pria ini sudah menyakitiku sedalam palung lautan tiada bertepi- namun tidaklah sekejam wanita ini yang sangat kentara ingin memusnahkanku.
Kesabaranku tidak mampu lagi untuk menanti kata cinta dari sang pria namun aku tidak merasa kuatir kalau wanita itu akan menggantikan posisiku. Tanganku telah menggenggam sesuatu diatas bara api yang tak sempat berkobar, terasa sejuk ditanganku dan dari sela-sela jariku mengalir cairan yang mematikan bara api itu perlahan-lahan, walaupun nyalanya masih menjilat-jilat ditengah deru angin yang menderu dibelakang leher.
Aku mendengar pria itu berlari ke arah taman, tempatku berasyik masyuk melakukan kegiatanku. Pria itu menatapku dan ia membeku disudut taman itu, tidak seperti biasanya. Lidahnya tiba-tiba tak mampu berucap seribu kata yang biasanya menusuk hatiku bagai sembilu. Aku tersenyum – memasang senyum kemenanganku sore itu. Aku berjalan menuju pria itu, sambil membawa sesuatu yang kini sudah berbau anyir di tanganku.
“Tidak ada kata maaf untukku di dalam hati wanita ini.” bisikku lirih, seraya menyerahkan sabit pemotong rumput yang kuasah semalaman, masih berlepotan cairan berwarna merah- ke tangan pria itu, sambil mengarahkan ujungnya yang runcing, tepat pada jantungnya.
“Apa kau punya, Ayah?” tanyaku lirih. Aku tahu, dia akan menjawabnya dengan sahut-sahutan panjang seperti biasanya. Namun, tidak kali ini- dan perkiraanku meleset jauh- sejauh ia melemparku dan membuatku terbakar dalam nyala api dendam yang merefleksikan terik mentari, tertegun menyaksikan sang angin meringkusku tanpa jejak.
“Tidak ada kata maaf untukku di dalam hati wanita ini.” bisikku lirih, seraya menyerahkan sabit pemotong rumput yang kuasah semalaman, masih berlepotan cairan berwarna merah- ke tangan pria itu, sambil mengarahkan ujungnya yang runcing, tepat pada jantungnya.
“Apa kau punya, Ayah?” tanyaku lirih. Aku tahu, dia akan menjawabnya dengan sahut-sahutan panjang seperti biasanya. Namun, tidak kali ini- dan perkiraanku meleset jauh- sejauh ia melemparku dan membuatku terbakar dalam nyala api dendam yang merefleksikan terik mentari, tertegun menyaksikan sang angin meringkusku tanpa jejak.
Rumput liar itu telah terbang tinggi - diiringi nyala api mengecil yang serta merta menembangkan pesan wasiatku pada pria itu. “Cabutlah aku, bakarlah aku, dan injaklah aku – namun aku adalah rumput liarmu yang tetap tumbuh dan tegar dalam taman itu. Meskipun warna tanah yang mencumbuku berubah menjadi merah - oleh darahku yang tersisa di sabit yang kau genggam, Ayah.. Percayalah, aku tetap setia.”