3H = Hentikan Hujat Hujan!!!
Tetes-tetes hujan tampak sedang giat-giatnya membasahi rerumputan liar di kebun kecilku yang tak terawat. Meskipun kadang hujan turun tanpa henti, membawa luberan air got dan sungai, becek, kotor..... aku tak peduli. Sepanjang Ia bisa menyejukkan dan mengusir udara dan hawa panas yang ditimbulkan UNFCCC beberapa bulan lalu di Pulau tercintaku ini. Dan Ia pun tak mengurangi keindahan Bali setitik debu pun. Kupuaskan indera penglihatanku sekaligus penciumanku yang serasa sejuk menciumi wangi tanah liat genteng dan tanah kering yang terbasahi oleh rintikan hujan yang cantik. Ah, sungguh hujan yang menawan...
Namun, keasyikkanku menikmati hari hujan terganggu oleh seorang pria tua yang tak henti-henti menggerutu...,
“HUJAN.....! HUJAN LAGI...!”
Aku memandangi pria tua itu, dengan sorot mata protesku. Apa untungnya Ia berteriak pekak yang tak mampu mendepak hujan?
Rambut-rambut jarang di kepalanya yang sedikit botak berdiri beberapa karena teriakannya. Kantung-kantung mata yang mengukir tajam di bawah matanya pun tampak naik turun, mengikuti arah nafasnya yang terengah-engah. Kelelahan mungkin.
Namun kelelahan apa yang mungkin dialami seorang pria tua yang sudah pensiun?
Kelelahan menanti hujan usai?
Kelelahan menapaki hidupnya yang tak pasti?
Atau kelelahan mencaci? Mencaci maki hujan yang turun tanpa henti?
Entahlah.
Usai teriakan, datanglah seorang wanita paruh baya, rival pria tua itu yang akan membabat habis teriakannya dengan omelan yang panjang tak terhingga.
“CUKUP..!”
Ini baru permulaannya...
Pria tua itu pun mulai bersikap seolah-olah bukan dia pelakunya. Bukan ia yang menyembunyikan permen, bukan dia yang melempar batu, bukan ia kambing hitamnya. Gaya khas pun telah diperagakannya seperti senjata pamungkas. Pria tua itu berdiri, melongok keluar, menyandarkan bahunya di pintu kayu, menghela nafas, dan duduk menempati kursi malas kebesarannya. Dinaikkannya kaca mata plus yang terus melorot di hidung berminyak. Tangannya dengan sigap mengambil salah satu buku tebal yang bertumpuk-tumpuk setia berada disampingnya. Pemandangan selanjutnya, akan seperti video yang berulang bagiku setiap hujan tiba.
Wanita itu akan mengambil - lebih tepatnya, merampas buku yang dibaca si pria. Serta merta berkacak pinggang dan berkata nyaring, “Hentikan hujat hujan!”
Dengan alis berkerut, si pria tua pun akan berkata, “Aku tidak menghujat hujan! Kau menuduhku saja..”
“Hah..!” Wanita baya itu menghela nafas berat, sungguh tampak tidak sopan bagiku. Namun, kedua orang yang sedang kuamati ini, memang perangainya seperti itu. Seperti kucing dan tikus di film Tom and Jerry. Mereka saling mencintai, namun saling menyakiti, saling menyerang..., tapi saling membutuhkan. Ah, sungguh ungkapan hati yang bodoh.
“Mau kemana hari ini?” Hardik si wanita baya itu setelah menilik pakaian necis yang digunakan oleh si pria tua. Saat itu, si pria menggunakan baju batik merah menyala dan celana katun coklat muda. Sungguh paduan warna yang pas yang membuat pria itu seolah berada 20 tahun lebih muda dari umur angka kepala tujuhnya. Rambutnya juga sengaja disemir hitam tadi pagi. Aku masih bisa membayangkan wajah tampan yang membayang di sela-sela keriput wajah pria itu. Belum lagi si wanita mendengus tajam karena membaui aroma parfum murahan yang menyerbak.
“Ke rumah sakit.” Ujarnya singkat. Pria itu memang telah bekerja lebih dari 35 tahun di sebuah rumah sakit berstandard Internasional di Denpasar. Beberapa kali Ia menerima penghargaan, namun... itu dulu. Hari ini, Ia tak perlu lagi pergi pagi- pulang pagi. Berlari-lari menerima panggilan pasien gawat darurat. Meninggalkan istri, menelantarkan anak. Bekerja dengan 36 jam shift namun upah seadanya, membuka praktek sana-sini yang membuahkan ketenaran dan kepenatan. Ia sudah tak perlu melakukan itu. Pria itu sudah pensiun lebih dari 10 tahun yang lalu. Masa-masa gemilang dan kesibukannya telah berlalu. Jadi, untuk apa?
Itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh wanita baya itu berulang kali, namun si pria tidak bergeming. Membisu seperti orang tuli juga, atau pura-pura tuli? Ah, tak jelas bagiku.
“Untuk apa?” Hening tak ada jawaban.
“Untuk apa ke rumah sakit?” ulangnya lagi. Pandangan mata si pria mulai tampak gelisah, bosan, merasa ditelanjangi, dan muak melihat hujan yang semakin deras saja.
“Untuk apa? Untuk menemui kekasihmu itu kah?!” Hardik wanita baya itu to the point. Pria tua itu akhirnya berdiri menantang wanita baya di hadapannya.
“Kau selalu tau jawabannya- namun kau tak pernah berhenti menanyakannya!” balasnya telak.
Wanita itu seperti api yang tersiram bensin, “Dan..., hanya gara-gara kekasih tak bermutu-mu itu, kau menghujat hujan?” Lelaki tua itu menaikkan bahunya, dengan sisa-sisa ingatan bahasa inggrisnya yang pasif, ia seperti biasa akan mengucap, “So..?”
“Tega!”
“Sungguh tega!” bentak wanita itu berkali-kali.
“Ya..! Tentu saja harus tega!” Balas pria itu tak mau kalah. “Kau tidak pernah tahu, bagaimana hujan membuat kencanku menjadi terganggu, aku tak bisa melihat betis mulus perawat-perawat cantik baru itu, dan... apa kau mau menanggung resiko apabila kekasih cantikku itu memutuskan hubungan cinta denganku?”
Aku melongok lebih dalam pada keributan kecil rutin itu. Terkadang bosan sekali mendengarnya, namun kedua orang itu terlihat sangat menikmati adu urat leher mereka.
“Puih...!“ Maki wanita itu, mungkin tak tahu lagi ekspresi apa yang pantas diberikannya. “Bukan berarti kau bisa menghujat hujan seenaknya! Hujan tak pantas kau caci!” Balas si wanita makin emosi.
“Dan kau pasti belum tahu nasib adeniumku yang tak kunjung berbunga karena hujan tanpa pesan itu! Datang, pergi, deras, rintik-rintik,....Tak mendung- hujan! Langit gelap, Ia tambah deras.”
“Seenaknya saja..!” Hah! Seru balasan pria itu.
“HUJAN LAGI....HUJAN LAGI...!!” Teriaknya kesal.
Wanita baya itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Serasa ia sudah lelah bertengkar, namun ia tak mau kalah. Ia makin tak terima hujan dihujat sedemikian rupa.
“Apa kau yakin kekasihmu itu menunggu mu di Rumah Sakit?” gelak tawa sinisnya yang terasa dipaksakan menggelegak.
“Tentu!” Seru pria itu yang mendadak tampak over confident. Lalu ia mulai merangkai puisi yang agak romantis. “Kekasihku itu mampu menyejukkan hatiku. Ia adalah hujan dalam hidupku... Ia menyirami tubuhku- hatiku yang sedang kemarau.. Jadi aku tak perlu- tak butuh hujan di luaran sana...” ucapnya menerawang. Atau mungkin ia juga sedang membayangkan terawang gaun tembus pandang kekasihnya yang ia rindukan.
Mendengar puisi picisan itu, wanita itu seperti mendapat angin.
Aha!
“Lalu mengapa kau menghujat hujan? Artinya engkau menghujat kekasihmu itu, bukan?” Senyum wanita itu mengembang bagai bunga padma di pagi hari. “Satu-kosong!” ujarnya seolah mengejek.
“BUKAN..!!” Teriak pria itu kali ini lebih menggelegar, kantung matanya seolah berlari lebih cepat mengikuti nafasnya yang mulai satu-satu.
“Bedanya, kekasihku hanya menghujani aku, tubuhku-jiwaku-hidupku, bukan pulau ini! Ia juga tak mungkin menimbulkan bencana banjir yang makin menggila. Karena itulah aku mencintai dia! Aku harus menemui kekasihku itu, dia pasti sudah menungguku..., tidakkah kau mengerti?” Lanjutnya lebih lembut. Merajuk. Layaknya anak kecil yang ingin dibelikan gulali, atau membujuk untuk melali ke Bali Safari Park yang baru dibuka di kawasan Gianyar.
Kali ini, wanita itu hanya memandangi pria tua yang berkali-kali memegangi dadanya, seolah memerintahkan jantungnya agar kuat bertahan sampai hujan usai.
Kali ini, ritme mereka berubah perlahan.
“Baiklah, aku mengerti.” Sahut si wanita dengan lembut sekaligus tegas.
“Aku mengerti, kekasihmu itu adalah segalanya...” Lanjutnya. Pria itu tersenyum, akhirnya mereka akan mencapai kata sepakat, begitu pikirnya.
“Aku pun takkan melarangmu lagi, toh wanita itu sudah berubah menjadi hujan...” ujarnya cuek, sambil lalu meninggalkan pria tua itu di depan pintu teras dengan gaya khasnya yang tidak berubah.
Lelaki tua terhenyak sekejap dan alisnya bertautan seolah berpikir keras. Lalu ia berjalan kearahku dan tersenyum. Ia menyadari bahwa aku dengan lancang sedang mengamati tingkah laku anehnya. Takut-takut aku menghadapinya, namun Ia hanya membelai anak rambutku sejenak sebelum ia berlari merambah pasrah dalam derasnya hujan sore itu.
Ia pun menari-nari dalam derasnya hujan, dibiarkannya batik merah menyalanya itu terbasahi derasnya hujan. Ia pun mulai membayangkan bercinta dengan kekasih yang dirindukannya. Ia bergumul berjam-jam dengan rumput-rumput liar kebun kecilku sambil membayangkan menindih tubuh kekasihnya. Ia meminum air hujan serakus-rakusnya, sambil membayangkan bibir basah kekasihnya yang biasa dilumat dan dikulumnya... Bermenit-menit, berjam-jam, berhari-hari....
Aku berharap wanita baya itu akan menyeret pria tua itu masuk, mengomelinya, bertengkar, dan berbaikan lagi, seperti yang biasa mereka lakukan. Namun, dugaanku tidak tepat, malah cenderung melenceng. Yang tepat hanyalah ingatanku pada percakapan, pertengkaran, dan perhelatan terakhir antara dua orang manusia yang notabene adalah ibu dan kakekku sendiri.
Aku hanya bisa tersenyum miris saat Ibu mencuci baju batik merah menyala itu dan diseterikanya pula hingga licin. Merahnya mengingatkanku akan api yang menyala-nyala waktu proses ngaben pria tua ayah kandung ibuku. Geliat-geliat api yang menari dengan eloknya mengingatkanku pada tarian hujan terakhir kakek- si pria tua yang terbuai puber keduanya. Kali ini, tarian api bertugas menjilati jasad kakekku inchi demi inchi sampai nanti menjadikannya abu tak berarti.
Tak seorang pun meratapi kepergian pria tua itu. Hanya Ibu mungkin yang masih merasa bersalah. Pertengkaran yang berujung kebodohan perilaku dan membunuh badan kasar renta kakekku pada akhirnya. Demam tinggi setelah tarian hujan erotisnya tak mampu diturunkan, sehingga kami mengalah merelakan pria itu terbebas dari alam duniawinya.
Tapi kupikir, pria tua itu akan bahagia disana. Ia tak perlu lagi berdebat kusir dengan Ibuku. Tak perlu memikirkan harga tahu – makanan favoritnya yang harganya melonjak-lonjak karena harga BBM yang melonjak tanpa ampun. Tak perlu bingung memilih gubernur siapa pada PILKADA Bali yang akan datang atau memikirkan banjir, angin, maupun perubahan iklim yang semakin mengganas...
Hanya aku dan ibuku yang sedang tenang memandangi rintikkan hujan cantik yang membasahi rerumputan liar, bunga kamboja, pohon tulang, dan adenium yang tak kunjung berbunga tanpa harus mendengar hujatan tentang hujan. Ah, hujan tak pantas dihujat, Ia tak berdosa......
Denpasar, 21 Februari 2008
Note:
Yup! Dibuat udah tahun lalu, sudah sempat kukirim ke media massa, tapi tak ada tanggapan.. sudahlah. Yang jelas udah nampang di "Angel on Earth"
cukuplahhhh ;)
2 comments:
sebuah kisah....
yang tidak dapat aku tebak endingnya
gaya berceritanya....hmmmm...
membuat imaginasi ikut terlibat
thumbs up....
Thanks!!
The media didn't like it, though...
:)
Keep it up..
keep it up..
Thankssss!!!
Post a Comment