---- Tulis di kotak komen yang harus di moderasi dulu ---
*hohohoho… (ketawa evil)
Komen teman-teman saya…… ::
-Gek, marriednya dua kali yah?
-Wah, punya suami dua!
-Bagi dounk cincin kawinnya…
-(Yang paling parah…) mo jadi dukun Gek??
Gedubraxxxx…
Ceritanya, cincin yang lebih kecil, adalah cincin pertunangan saya. Saya tunangan kurang lebih setahun sebelum akhirnya nikah. Nah…….. yang lebih besar dan berisi permata (*maunya sih diamond… hihihihi) adalah cincin kawin saya – getoooo…
Saya sayangggg.. banget sama cincin tunangan saya, soalnya, cekli * bangetsss…
*(ini bahasa saya dan ibu saya untuk “cute dan imut” hohohoho.)
Makanya saya pakai keduanya – suami saya juga gitu, memakai kedua cincin di satu jari manis.
Akhirnya karena ga kuat denger komen-komen itu, dan malas neranginnya.. Saya lepas deh cincin kawin saya. Saya pakai cincin tunangan saya ajah.. dan suami saya toh engga ngelarang. Sama aja maknanya
:: COMITMENT::
Tau-taunya…. Di suatu makan siang yang tak terduga.. ada teman saya yang nyeletuk..
“Lahhh.. Gek.. kamu gimana sih, kok ga pake cincin kawin??!”
Wah, saya ampe keselek.. segitunya….
Dan… alasan saya ga mau pake cincin kawin aja karena.. masih kebesaran.. (lagi seperempat ukuran - nanggung banget kan?? ) hihihihi. :D
Maksudnya saya nunggu biar jari saya sudah pas ukurannya, gitu..
Mama melahirkan kita sambil menangis kesakitan...
Masihkah kita menyakitkannya?
Masih mampukah kita tertawa melihat penderitaannya?
Mencaci makinya?
Melawannya?
Memukulnya?
Mengacuhkannya?
Meninggalkannya?
Mama tidak pernah mengeluh membersihkan kotoran kita waktu masih kecil,
Memberikan ASI waktu kita bayi,
Mencuci celana kotor kita,
Menahan derita,
Menggendong kita sendirian...
Di saat mamamu tidur, coba kamu lihat matanya dan bayangkan matanya takkan terbuka untuk selamanya...
Tangannya tak dapat hapuskan airmatamu dan tiada lagi nasihat yang sering kita abaikan...
Bayangkan mamamu sudah tiada...
Apakah kamu cukup membahagiakannya...
Apakah kamu pernah berfikir betapa besar pengorbanannya semenjak kamu berada di dalam perutnya...
Kirim pesan ini pada semua... Itupun kalau kamu sayang mamamu dan mau mengingatkan teman2mu. Ingat-ingatlah 5 (lima) aturan sederhana untuk menjadi bahagia:
1. Bebaskan hatimu dari rasa benci.
2. Bebaskan pikiranmu dari segala kekuatiran.
3. Hiduplah dengan sederhana.
4. Berikan lebih banyak (give more).
5. Jangan terlalu banyak mengharap (expect less).
SADARILAH bahwa di dunia ini tidak ada 1 orang pun yang mau mati demi MAMA, tetapi... Beliau justru satu-satunya orang yang bersedia mati untuk melahirkan kita... Mama bukan tempat penititipan cucunya disaat anda jalan-jalan, tetapi disaat beliau sudah tua dan tak bertenaga, yang beliau butuhkan sekarang adalah perhatian anda, datang & hampiri dia, bertanyalah bagaimana kesehatannya saat ini dan dengarlah curhatnya, temani dia disaat dia membutuhkan anda, itu saja..... Beliau sudah bahagia sekali............. dan melupakan semua hutang anda kepadanya.
Kirimkan ke 20 orang agar MAMA KITA PANJANG UMUR
<3 I Love U Forever Mom <3
--------------------
E-mail ini pop in begitu saja di inbox saya kemarin sore.
Tanpa judul.
Kalau orang lain yang membaca mungkin akan tersentuh, bahkan berlinang air mata.
Namun, mengapa itu tidak terjadi pada saya yang hanya tersenyum dan bahkan tertawa setelah membaca e-mail ini?
Salah satu anonim yang dulu menjadi cikal bakal blog saya. Salah satu reader fanatik yang menunggu posting terbaru saya seperti terbitan Koran pagi yang mewarnai harinya – that what he said..
Berhubung dulu blog saya sempat lama “gantung”. Banyak spekulan-spekulan yang memprediksi bahwa saya akan berhenti nge-blog. Di ibaratkan rumah, blog saya ini udah debuan plus banyak sarang laba-labanya- hatchim!. Maka dari itu dengan teganya Jie mencabut RSS dari blog saya ini.
Dengan alasan, “terlalu lama menunggu.”
Jadi waktu saya aktif nge-blog lagi, saya belum tau kalau ia sudah cabut RSS nya dari blog saya. Pas kebeneran ketemu di chat room, saya segera menyapanya dan dengan pede nya.. bilang, “Eh, sudah baca postingan baru di blog kan? Komennya gimana?”
Dengan terkejutnya saya membaca tentang balasan pesannya yang pop up di layar computer saya, “Oh, kirain dah tewas tu blog.”
“Kenapa musti aku tewasin?” balas saya.
“Kan kamu dah merried.” Jawaban ini membuat alis saya berkerut-kerut. Dan kalian pasti udah bisa nebak jawaban saya..
“Maksud loe?!”
“Iya.. kalo udah married itu kan heavenly ever after..” membaca itu spontan garis bibir saya tertarik ke atas dan tidak sanggup untuk menahan tawa.
“Memangnya fairy tale??” ketik saya dengan speed 100 huruf per menit. (lebay mode : on)
“Apalagi yang kurang setelah menikah?” balasnya dengan desperate mode : on banget…
Jie.. Jie..I’m wondering if you know the reality..
Menikah itu, berarti punya kehidupan baru. Kehidupan berdua, plus junior-junior saya nanti. Namanya juga berdua, bukan berarti saya dan suami punya isi otak yang sama, keluarga dengan sifat yang sama, dan kantong (*duh!) dengan isi yang sama.
Saya bahagia karena sudah dipertemukan dan disatukan dengan teman hidup saya, tetapi bukan berarti cerita hidup saya akan berhenti sampai disitu saja. Masih banyak cerita-cerita lain yang kalau dipaparkan di blog saya atau nekad saya filmkan akan seperti sinetron Cinta Fitri yang ga bakalan berakhir sampe season 20! Believe me!
Saya masih gigih berjuang untuk hidup, bahkan sekarang mulai bujuk-bujuk si Enchi – mo minta ilmu sama suhu, biar dapet rejeki tambahan lahhhhhhh.. hohohoho.
Saya juga mulai menengok usaha-usaha yang dikerjakan teman-teman saya. Kira-kira apa yang bisa saya kerjakan sembari mengurusi anak (nantinya…)
Banyak orang yang bilang, umur pernikahan 0 – 5 tahun adalah umur yang paling rawan untuk bercerai, ada pula yang bilang diatas 10 tahun perkawinan, sudah posisi aman.. Apa iya?
Kalo keseringan liat gosip para artis di TV sih.. kata-kata orang itu, tidak terbukti faktanya..
Sekali lagi.. This is not a fairy tale..
Semua orang berhak punya pandangan tentang pernikahan itu sendiri. Ga saya larang untuk menasehati saya panjang lebar tentang baik buruknya menikah. Kesiapan mental seseorang lah yang menjadi taruhan pernikahan itu.
Apakah siap menyatukan 2 hati dan 2 pikiran?
Apakah siap dengan masa-masa adaptasi?
Apakah siap dengan masalah-masalah -salah satunya masalah yang paling sensi aka financial yang akan muncul nantinya?
Kalau jawabannya YA, segeralah menikah! Hehe.
Saya tidak menjanjikan “Live happily ever after…” tapi percayalah, hidup akan lebih berwarna dengan menikah.
Bagi yang masih lajang – especially my dearest Jie– santai sajalah.. jodoh ga lari ke mana. Tuhan lagi nyari-nyari dan ngobok-ngobok dunia aja buat ngirim teman hidup buat kamu.
Lagian kata teman wanita saya, ( yang ga kunjung menikah di atas usia 30…,) “Lajang itu berkah, bo….!”
“ Reseh amat sih?” Itu ekspresi spontan saya ketika teman saya dengan sengaja menghampiri meja saya dengan satu kalimat gossip terpanas di kantor.
“Makanya gue juga heran, tau?!” Jelas teman saya sambil manyun dan muka di tekuk se lecek-leceknya.
Asal usul gosip terpanas ini adalah gara-gara pakaian teman saya pagi itu. Teman saya yang keturunan Cina itu memang termasuk sangat modis dalam berpakaian. Disamping modis, dia juga berbodi kutilang, jadi pakaian apapun yang melekat di tubuhnya bisa saya cap SEKSI.
Mungkin naas aja, hari itu dia memakai legging. Sialnya lagi dia bekerja langsung di bawah “big bos”.
Kenapa musti tanda kutip?
Karena big bos ini special, dia interlokal a.k.a. bule, punya anak satu – tanpa istri, dan pernah dikabarkan berpacaran dengan teman dekat kami sendiri.. so… (well, bumil….! Stop gossiping!)
Si big bos ini nyamperin teman saya “ I’m not sure we have policy about legging.” Yang disambut oleh muka tomat teman saya pagi itu.
“What’s wrong with legging?” Tanya teman saya dengan berani.
“Well, it’s too sexy for the students.”Ujar si big bos dengan kaca mata yang di fokuskan pada bagian bawah legging teman saya yang menunjukkan kaki jenjangnya yang buat semua liur pria bergejolak.
“My students didn’t say anything about that!” Protes teman saya ga terima.
Dengan memperbaiki kaca mata dan menelan liurnya, si big bos hanya melenggang kangkung.
“Well, I’ll make sure that there will be no legging in the future..”
Saya kena getahnya deh… swear saya bete banget dengerin cerita teman saya pagi ini. Terang aja dia serius banget cerita sama saya.. karena hari itu kebetulan juga saya pakai legging!!!
And.. hello??
Kami tau kok cara berpakaian yang pantas, Sir! Kami hanya memakai legging yang tebal dan tidak transparan, lagipula kami juga menyesuaikannya dengan pakaian kami.
Kalau kami jadi seksi, jangan salahkan bunda mengandung, donk!!!
Apalagi untuk bumil… legging itu sangat membantu. Karena celana-celana panjang udah ga muat. Pinggang rok yang biasa saya pakai juga ga muat, demi kenyamanan saya dan bayi, legging adalah busana yang paling nyaman…
Kalau legging dilarang, memangnya bos saya itu mau nambah gaji saya buat beli busana baru – yang harganya tidak murah – dan belinya tidak satu pasang saja???
Argghhhhh…I HATE THIS RULES!
Karena nafsu setitik, rusak legging sebelanga.. (maksain banget sih peribahasanya? – biarin deh.. dari pada stress…. >.< )
Belum lagi waktu saya pulang, tiba-tiba aja seorang teman saya yang biasanya ga pedulian kalo saya ada, langsung nyeletuk..
“Eh, katanya udah ga boleh lagi pake legging lho!”Sok imut dan tampang penjilat banget.. langsung aja saya balik badan dan menanggapi dengan super duper judes.. (ihhhhhh.. bumil ga boleh judes!!!!)
Bermula dari konsultasi dokter yang rutinitasnya ga boleh kurang, suami dan saya terkaget-kaget waktu dokter bilang, “Wah, ga kerasa ya Bu.. bayinya sudah 5 bulan, sehat sekali!”
Saya melongo, suami saya bengong. Wah, emang bisa korupsi juga tuh, umur si baby dalam perut?? Saya langsung protes, “Dok.. dok.. bukannya baru 3 bulanan? Dokter ini bikin kaget ajah kalo bilang 5 bulan, dapet dari mana lagi 2 bulan, dok?” ujar saya, sementara si Dokter masih nerawang-nerawang perut seksi saya dengan the most famous tool for bumil… a.k.a USG.. hehehe.
“Ah masak, Bu??” Ala pakar telematika secanggih Roy Suryo, si dokter mulai mengukur diameter kepala junior saya via USG itu, (gilee… dokternya canggih bener…) “Menurut ukurannya sih, ini sudah ukuran bayi 5 bulan lo Bu.. It’s a big and healthy baby.” Saya senyum-senyum aja, ya sutralah.. Saya ga banyak bicara- di depan meja konsultasi, saya cuma meletakkan rekam medis si dokter, dan beliau sendiri manggut-manggut, bengong, dan surprised gitu..
Akhirnya dia bilang, “Iya ya.. baru 3 bulanan ya Bu.. tapi perkembangan bayi ibu, bagus sekali.”
Saya tersenyum, “Syukurlah, Dok. “
Sepulang dari dokter, suami saya mulai narsis, “Jelas aja sehat, minum susunya 2 kali sehari, minum vitamin ga pernah absen, makan lancar-selancar-lancarnya, ah.. anak yang manis.”
Terang aja sih, dia boleh bangga. Karena petugas susunya itu, emang dia. Hehehe. Ga pernah tuh, saya buat susu sendiri, sampai makan kadang suami yang masakin, jadi tuan putri.. (Semoga seterusnya.. hahhaa)
Balik ke topik diet, macam mana pula saya disuruh diet oleh kakak ipar saya yang gantian shocked ngeliat perut saya.
“Waduh Gek…. Ini mah perut orang 6 bulan lo! Apalagi nanti kalo udah 9 bulan, Gek.. diet donk.”
Hah? Ga salah tuh?
Perasaan di kantor, teman-teman saya malah bilang, ga kelihatan, apalagi murid-murid saya memandangi saya seperti orang yang ga makan 2 minggu gitu dengan ekspresi, “You are so thin!”
“Puasa minum es, deh!” Ujar kakak ipar saya dengan sinar mata yang berapi-api, syukur saya duduk jauh-jauh sebelum gosong… hihhhh…
Dengan kacamata invisible di atas hidung saya mulailah saya berkotbah, “Minum es itu, tidak menyebabkan bayi besar, Mbok. Itu hanya mitos, yang menyebabkan bayi besar adalah GULA. Misalnya minum es teh – nah kan manis tuh? Apalagi minuman-minuman ringan yang kadar gulanya tinggi.. itu penyebab utamanya! Bukan es batu..” Tutup kotbah saya sambil mengasihani si Es Batu yang jadi kambing hitam.. ck ck ck.. padahal warnanya pun melenceng jauh dari hitam.
“Ohhhh.. gitu” ujar kakak ipar saya manggut-manggut.
Tiba-tiba, suami saya nyeletuk, “Eh.. Gek itu kan hobinya makan es krim??!”
Arghhhhhhhhhhhhhhhh.. (*ketok palu plus hara kiri)
Disambut dengan ketawa kakak ipar saya – merasa jadi pemenang di atas kincir angin. Hiks!
“Nah loh. Mo bilang apa lagi Gek? Es krim itu zat gulanya banyak lo! Kurangin deh, kalo mau melahirkan normal.” Ujarnya dengan senyum yang penuh perhatian.
Saya cuma mengangguk pasrah.
Hih……… puasa es krim cone vanilla yang harganya di bawah 5 ribu itu, serasa diwajibkan puasa 3 bulan penuh tanpa makan dan minum.. (LEBAYYYYY…..!)
Tapi, demi si juniorku sayang, manis, dan baik.. apa sih yang enggak buat kamu, my baby?
Pertanyaan itu, bertubi-tubi menanyai saya hampir setiap hari. Melalui orang-orang yang berbeda. Teman di kantor, keluarga di rumah, teman jauh yang tiba-tiba dekat waktu tau berita kehamilan saya, sampai bos-bos besar tuh..
Saya berpikir, segitu kerennya ngidam eui.. sampe ditanyain kayak artis.. Sebenarnya saya termasuk sangat beruntung. Ngidam saya engga terlalu parah.
Morning sickness?
Saya malah ga ingat kapan saya muntah pagi-pagi. Sejak kehamilan berumur 2 minggu, saya sempat sih muntah-muntah, tapi bukan di pagi hari, melainkan di sore hari habis ngajar. Yang saya simpulkan : Saya kecapean. Hahaha..
Belakangan ini malah muntah-muntahnya hanya waktu mandi. Ya elah..
Junior saya ini termasuk manisss sekali. Tidak pernah rewel. Hanya sekalinya rewel, yang paling pusing dan dibuat kerepotan adalah suami saya. (ya iyalah.. masak para bloggers??)
Suami saya pernah tuh, ditanyai oleh temannya, “gimana, istrimu sudah ambil cuti?”
Suami saya bengong kayak kambing ompong gitu. Cuti? Cuti apaan?? Perasaan hamil saya (waktu itu) masih sebulan??! Ternyata eh ternyata, istri teman suami saya itu, sempat ambil cuti selama 1 bulan pertama karena muntah-muntah, lemas, dan tidak bertenaga… aih….
Saya bersyukur deh, masih sehat-segar-bugar saat ini. Walaupun, tidak saya pungkiri, badan jauh merasa lebih capek dari biasanya. Emosi naik turun, kadang saya pengen marah-marah aja.. atau hanya pengen tidur seharian.. atau malah pengen jalan-jalan seharian. Ga tentu lah.. apa itu disebut Ngidam juga ya??
Parahnya ni.. suami saya suka ga ‘ngeh’ kalo saya minta sesuatu. Misalnya nih, saya lagi kepingin makan pisang goreng. Saya cuma bilang, “sayang, aku pengen makan pisang goreng.”
Suami saya cuma noleh sekilas aja. “Oh iya. Entar deh dicariin.” Santaiiii bangettt… Saya juga ga nuntut. Tapi tetap aja kepikiran sampe berhari-hari kalo saya pengen makan pisang goreng.
Yang terjadi 2 hari mendatang.. tiba-tiba aja seorang teman saya di kantor membawa bungkusan ke meja saya dan..
“Eh, Gek mau pisang goreng? Aku goreng sendiri tadi di rumah?” Saya hanya tersenyum girang.. Wah-wah-wah.. baru di perut aja, si junior udah rejekian… ck ck ck.
Dan… ngidam tidak hanya terjadi pada bumil ya…..! Terjadi juga pada si suami loh! Yang jelas, suami saya jadi agak rewel kalo mau makan. Misalnya hari ini, harus makan siobak, besoknya harus makan nasi goreng.. aih. Belum lagi, malam-malam dia bangunin saya,
“Gek, cari rujak yuk?” yang saya tanggepin dengan, “yang hamil sapa sih???” Apa saya kasih julukan Pamil aja yak?? Ah.. nanti ketuker sama Macan Tamil gemana??
Selain makanan, ngidam saya ju ga baca-baca novel. Makanya waktu novel si Clarakeluar tuh.. saya sampe bolak balik Gramedia untuk meyakinkan saya musti beli. Tapi karena teriming-imingi Enchi yang bilang di sebuah toko buku saya bisa dapat harga lebih murah.. maka saya tunda..
Eh, ga taunya penundaan itu, berakibat susah tidur! Astaga! Besoknya, saya langsung ke Gramedia menyeret suami saya untuk nganterin doank.. jangan harap deh dia mau beliin… Itu pun, sambil liat covernya dia bilang, “Kamu kapan sih buat novel? Capek aku nunggu.”
Saya cuma naikin satu alis aja sih.. mau nanggepin apa coba? (ngelengos- phewww…)
Btw busway.. akhirnya novel itu, habis dalam waktu 2,5 jam. Kesan dan pesan saya setelah baca? Entar-entar aja deh ya saya posting.. : )
Percaya ga percaya, percakapan ini terjadi pada saat rapat materi baru bahasa Indonesia. Rapatnya cuma ber tiga doank.. hahaha. Habis gimana, guru bahasa Indonesia hanya dua orang. Saya dan teman saya, lalu satu orang manajer yang cantik, seksi dengan kulit coklat eksotik, dan single walaupun sudah “taken”.(selama janur kuning belum melengkung, boleh deh promosiin bos, sapa tau entar saya yang dipromosiin.. *jitak)
Entah bagaimana ceritanya, diskusi tentang materi, berubah menjadi bercerita personal- cerita keluarga atau anak yang buat saya manyun. Bos saya pertama cerita tentang pergaulan bebas anak remaja sekarang yang ga bisa dibendung. Mau gimana coba koar-koar tentang pelarangan seks bebas, kalau yang terjadi di masyarakat justru seperti itu.
Tambah dilarang, tambah banyak gadis-gadis bunuh diri dan ketahuan hamil, aborsi, atau ga.. pria nya yang gantung diri, atau lari tak bertanggung jawab. Emang dunia sekarang khususnya di Indonesia ga bisa dikontrol lagi hal-hal yang begituan- persis seperti populasi penduduk!
Mulai dari pesan sang ayah tercinta bos saya yang wanti-wanti bilang, “Apapun yang terjadi di Bali nanti, kamu jangan sampai buat malu keluarga- jangan buat aib! Jangan sampai hamil – apapun yang kamu lakukan, ingat itu pesan Bapak satu-satunya” Heiyaahh.. keder juga sih si bos saya yang cantik dan seksi itu. Untungnya, record beliau tentang pacaran local bersih sekali.. alias, pacarnya semua interlokal! Sekarang pun dia tinggal dengan pacar bulenya, di sebuah rumah plus keponakan laki-lakinya. Yang mana si bule dengan entengnya selalu berpesan pada si keponakan laki-lakinya.. “Ingat pakai kondom ya!”
“Nah.. saya juga sempat bertanya pada anak laki-laki saya, lho…” celetuk teman saya yang akan segera cuti ke Bandung, untuk proses berkenalan dengan tunangan anak laki-lakinya. “Kenapa sih, kamu suruh Bapak jauh-jauh ke Bandung hanya untuk berkenalan dengan pacarmu? Toh bapak sudah kenal… “ telfonnya beberapa hari yang lalu. Si anak laki-laki pun menjawab, “Iya Pak, biar pacar saya itu bebas nginap di rumah kontrakan saya! Masak kami bohong terus-terusan sih??” Teman saya itu mengangguk-angguk pada kejujuran anak laki-lakinya. Lalu dengan penuh rasa ingin tahunya dia sembari bertanya, “Nak, apa pacarmu itu sudah hamil?” Belum sempat si anak menjawab, teman saya itu udah nyerocos lagi, “Jangan digugurkan, lho! Dosa! Kamu pulang saja ke Bali, nanti Bapak nikahkan kalian berdua, gimana?” Si anak di seberang sana via telfon terang aja kebakaran jenggot mendengar kalimat si Bapak.
“Belum, Pakkkk!!!! Kami belum sejauh itu, ah!” ujarnya. Si Bapak malah komen dengan singkat dan jelas…
“Kok, belum?”
Gedubrax!!! Membahanalah tawa kami bertiga di ruangan kecil tempat rapat yang telah berubah jadi warung kopi dalam waktu sekejap. Saya hanya mengelus-erut perut saya yang baru sedikit buncit meskipun masih seksi.. (hahhahaha – maksain) berharap si junior tidak terlalu menguping pembicaraan kami tersebut.
Bagaimana ya kalau mereka tahu, apabila saya dan suami saya selalu menggunakan kontrasepsi dan…… hamil juga?
Well, itu sih namanya anugrah dan rejeki. Saya menerimanya dan mensyukurinya donk!
Waktu saya kecil dulu, yang saya tahu tanaman kaktus itu tanaman khas padang pasir yang praktis dalam perawatannya karena ga perlu air. Ga perlu susah-susah nyiram di pagi hari dan mindahin tanaman itu ke tempat yang teduh sore hari biar ga layu kena matahari. Cocok banget dah.. buat si pemalas tetapi pengen tetep memanjakan mata dengan warna hijau.
Terbelalak juga mata saya waktu pertama kali ngeliat kaktus-kaktus mini di pameran tanaman hias. Dalam otak saya yang dongo sih saya mikir.. “heh.. kaktus kecil-kecil gini apa ga ketuker ma bakso ye..?” Namun tetap tidak tertarik untuk membeli, karena terlalu praktis untuk dirawat, engga greget gitchu… (intinya sih.. tidak bisa dimakan, tidak bisa dibaui… tidak menimbulkan rasa bahagia di hati.. halah.. lebayyyy)
Kalau dibanding-bandingkan (maksudnya dicari-cari gitu perbandingannya.. a.ka. maksain) ada hubungan yang berkaitan erat antara kaktus dan hati manusia. Ralat. Hati saya, bukan manusia sih.. emangnya saya masih manusia ya? (sepertinya sih begitu.. kok semakin ngawur ajahh.. tidakkkkkkk!!!)
Itu sih celotehan suami saya pada ayah saya kemarin.. yang kalau diibaratkan peluru, wah.. udah nembus ampe di pintu. Pintu? Ho oh, pintu di mana ayah saya berdiri di depannya. Jadi habis jantung, terbitlah daun pintu. Bisa ngebayangin kan kerasnya gimana?
Hal ini berakar dari pernyataan semua orang yang terlanjur mengunderestimate saya kalau saya tidak bisa memasak. Cap LUNAS. Pokoknya dari Nusa Dua ampe Singaraja, dari ujung ketombe ampe ujung jempol di sandal jepit saya, dari tetangga selatan sampe tetangga antar benua tau.. kalo gek itu -à TIDAK BISA MEMASAK. Fiuh.. sedih juga di cap LUNAS begitu sama mereka, ga bisa nawar-nawar apalagi minta kredit, namanya cap LUNAS, apa yang mau dinego lagi cobaaaa???
Bukan tanpa alasan saya “ngambek” dan tidak pernah memasak selama saya tinggal dengan ayah saya. Dengan hidup berdua tanpa Ibu, saya sudah sangath berusaha kuerasss bereksperimen untuk memasak. Namun, beliau tidak pernah puas. Ada…. aja alasannya. Kurang garam, kurang pedas, tanpa terima kasih, tanpa pujian kalau enak, kebanyakan tidak pernah dimakan dan… keseringan bilang, “lumayan”. THAT’S IT !
“Hey.. I’m not a cactus!” teriak saya dalam hati. Dan saat itu juga saya memutuskan untuk tidak memasak! TIDAK MEMASAK! TITIK. CAP LUNAS!
Semenjak menikah, mau tidak mau, saya harus mulai bereksperimen lagi dengan latihan masak-memasak saya. Walaupun saya udah kasi ‘warning’ suami saya. “masakan saya ga enak!” Suami saya biasanya hanya menyambut dengan senyum dan nyeletuk.. “kalau ga mood masak, ya udah…” seraya meninggalkan saya dengan kelonteng-kelonteng di dapur, oseng-oseng disertai bau harum masakan suami saya yang maknyus.. hm…
Sesekali saya memasak, dan dihabiskan semuanya. Semuanya. Maunya masak untuk makan tiga kali, dihabiskan sekaligus, tidak lupa bilang terima kasih sayang.. dan mencium pipi saya mesra. Belum lagi dia selalu bilang masakan saya enak sekali. Walaupun saya protes dengan, “ah, kamu berlebihan, menghibur saja kerjanya.”
Dia tersenyum lagi dan berkata, ”hey.. pede donk! Masakanmu enak sayang, kalau ga enak, kenapa aku makan? Kenapa aku habiskan? Kenapa aku tambah gemuk?” Saya hanya tersipu. Saya serasa jadi tunas bunga mawar putih kecil yang setiap waktu disirami dengan cinta. Hmmmm..
Sampai tadi pagi, ada kudeta perebutan makanan di dapur. Suami saya yang udah nambah dua piring, bersikeras untuk tambah lagi, dengan alasan masih lapar. Padahal ayah saya juga belum makan, tapi lauk sudah mau habis! Dengan entengnya, suami saya mengambil potongan lauk terakhir tanpa memberikan kesempatan pada ayah saya untuk mencicipi masakan saya.
“Eh.. saya habiskan Pak. Gek masaknya eksklusif. Hanya kepada yang menghargai.” Ujar suami saya enteng sambil kunyah-kunyah tak berdosa. Meninggalkan piring kosong dan bersih di depan ayah saya yang spontan urung makan dan hanya berlalu tanpa komentar.
Dan saya.. dengan teganya mengacungkan jempol pada suami saya yang telah membuat saya berubah menjadi sekuntum mawar putih cemerlang, bukan kaktus mini berduri yang tempting seperti bakso. : )
“Bukannya hubunganmu baik-baik saja?” komentar lelaki di depanku yang berhenti mengunyah makan malamnya setelah mendegar ungkapan isi hatiku. Matanya yang bening itu seolah menembus jantungku yang selama ini tidak pernah berkata yang sejujurnya padanya.
Aku hanya menggeleng lemah. Aku tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan olehnya, sambil mengaduk-aduk makanan di depanku yang sudah tak terkecap rasa apapun oleh indra pengecapku yang ikut kelu.
Bagaimana mungkin baik-baik saja? Telfon dari orang itu, yang biasanya sangat rutin, dua atau tiga kali seminggu, tidak pernah lagi menggangguku. Tidak ada komen-komen pada status atau coretan di dinding facebookku – walaupun aku tau, dengan HP Blackberry nya itu, dia biasanya online 24 jam. Sms pun tak pernah dikirimkannya lagi, padahal kami sering berceloteh tentang hal apapun melalui sms. Tentang suami orang itu, tentang anak lelakinya, atau tentang pria idaman lain yang mencoba membuka kembali hatinya yang sempat beku. Jangankan bertanya kabar, sms resmi seperti selamat hari raya pun, tak satupun ada dalam handphone ku.
Ah, entahlah. Semua berubah begitu mudahnya seperti membalikkan telapak tangan. Hubungan yang sangat erat menjadi sangat jauh. Bahan obrolan yang panjang dan lama, menjadi beku – hanya kesunyian yang kurasakan sekarang. Senyumnya pun, tak pernah ku lihat setulus yang dulu. Ada luka di matanya, ada perih di hatinya, dan itu semua disebabkan olehku. Iya, oleh perubahan statusku. Dari seorang gadis kecil menjadi istri orang – bahkan calon ibu, sebentar lagi…
Aku tak tahu bagaimana membuat hubungan kami menghangat kembali. Aku tak punya ide bagaimana lagi menyembunyikan rasa rindu mendalam padanya. Aku sadar, dia sering menyakitiku.. lagi dan lagi. Aku tahu, aku selalu mengalah dari dulu hingga sekarang. Aku tahu, aku selalu bermuka dua, mengatakan hal-hal yang tak kusuka pada dirinya kehadapan keluargaku, yang terang-terang membencinya.. Namun, itupun tak setiap waktu kulakukan. Aku mengerti.. ini semua murni kesalahanku.
“Tapi, kamu tidak pernah mengatakan galau itu selama ini, sayang..” ucapan pria itu, menghapuskan semua isi dalam pikiranku. Aku menghirup udara sedalam mungkin. Mencoba menahan bulir air yang sudah di ujung mata.
“Seumur hidupku, sayang.. aku selalu memakai topeng. Kamu tahu itu?” jawabku lugas. Tanpa meminta komentar dari lelaki itu, aku melanjutkan lagi pernyataanku. “Aku selalu tampak bahagia di mata semua orang, aku selalu memasang topeng tersenyum, walaupun hatiku tercabik, aku selalu menangis sendiri di tengah malam saat tersakiti olehnya.. Apa dia tahu, apa dia pernah rasa?“ Aku mencoba bernafas kembali, berusaha sekali menahan agar tidak menangis di depan orang yang sangat kucintai. Aku tidak mau dia terluka karena melihatku, cengeng. Iya, cengeng!
“Aku bisa merasakannya, sayang. Dia sudah membangun jarak yang begitu jauh dari hatinya – padahal jarak kami begitu dekat.” Lelaki itu hanya menghela nafas.
“Kamu tahu, aku tidak akan membiarkannya mencercamu lagi seperti binatang, layaknya kamu orang terhina di dunia. Kamu istriku, dan biarkanlah dia menjadi dewasa. “ Ujarnya sambil menggenggam tanganku erat.
“Tapi, apa yang harus aku lakukan??” Ujarku putus asa.
Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya.
“Tidak ada. Satu saat percayalah, dia akan mencarimu. Dia akan sadar dan menjadi dewasa. Namun, kamu harus sabar. sabar, dan sabar, sayang.” Ucapnya lirih.
Aku terdiam. Ingin ku lepas topeng yang memfosil di wajahku ini. Ingin ku buang ia jauh-jauh. Tak ingin aku mengingkari isi hatiku. Aku hanya ingin semuanya berjalan normal kembali, aku hanya ingin hubungan kami :: aku – suamiku – dan dia menjadi baik kembali..