Cerita sebelumnya :
Baca Bagian 1 dan 2 ya.... (hehehehe)
Untungnya, Dian ga perlu mematung di depan kelas selamanya. Karena tepat saat Ia hampir menyerah, bel sekolah tanda pulang berbunyi keras…sekali. Untuk kali pertama, Dian merasa bahwa itu bunyi bel dari surga. Save by the bell, thanks God serunya dalam hati.
“Diandra, kamu boleh duduk. Biar hari Kamis kita bahas jawaban kamu.” Ujar Pak Raka. Dian tersenyum manis sekali saat itu, menutupi rasa malunya pada teman-teman yang lainnya. Dian segera menduduki kursi di sebelah Tia.
“Nyaris gue, Ti..” Tia menepuk-nepuk bahunya.
“Tenang aja, kan ada Tia si Dewi Fortuna.” Cengirnya.
“Ah, elu..”
“Eh!” Dian seperti teringat sesuatu.
“Napa, Di?” Tanya Tia heran.
“Gue harus ngejar si Cok.” Ujar Dian sambil membereskan buku-bukunya dengan cepat.
“Buat apa?” kejar Tia.
“Mau ngasi kunci motor si Hendra” tambahnya.
Saat itu, kebetulan HP Dian berbunyi. Lo, Tante Heni? Pikir Dian saat melihat layar handphonenya. Dian segera menekan tombol yes.
“Siang Tante.”
“Siang Saras, ini tadi si Hendra lupa, tasnya malah ditinggalin di kelas. Saras tolong ambil ya…” Ujar Tante Heni.
“M.. tapi Tante, Saras ga tau rumah tante Heni yang sekarang…”
Suara di sebrang telfon pun mengisyaratkan nada setuju.
“Oh iya, ya. Ya udah, Saras bawa aja dulu. Nanti kalo Hendra sudah sehat, dia kan bisa nelfon Saras, ok?”
Dian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ok, tante. Sekarang saya ambil dech.”
“Makasi ya nak Saras.”
Clik.
“Saras?” ujar Tia terkejut.
“Iya, kenapa Ti?”
“Aneh Di, masa keluarga lo manggil nama belakang lo?”
Dian menaikkan bahunya. “Mungkin karena nama belakangku begitu cantik. Saraswati”
“Huu..” Ejek Tia. Dian hanya bisa berlari menghindari gelitikan Tia.
Dian berlari menuju kelas II B, kelasnya Hendra. Untungnya Cok juga ada disitu. “Diandra!” Pekik Cok.
Dian terkejut. “Apaan, Cok?” tanyanya bingung.
“Gue nunggu lo sampe kering.” Tubuh gembul Cok mendekati Dian dan dia langsung mengulurkan tangannya.
“Mana kuncinya, Di?”
“Nih.” Ujar Dian seraya memberikan kunci motor Hendra.
“Mana tasnya Hendra?” Cok menunjuk ke bangku depan no 2,
“Tuh, yang warna kuning.” Dian berjalan ke arah bangku Hendra dan mengambil tas kuning Hendra.
Mereknya sih Ok, tapi kok sampe bulukan gini sih? Kagak pernah dicuci apa? Pikir Dian.
“Tasnya dah tua banget ya Di?” Ujar Cok seperti bisa membaca pikiran Dian. Dian menanggukkan kepalanya dengan semangat.
“O ya, Cok, kalo misalnya besok si Hendra masuk, dan gue ga sempet ngembaliin tasnya, bilang aja gue yang minjem ya..?” Pesan Dian. Ganti Cok yang bingung.
Tas jelek gitu ngapaen lo pinjem, Di? Kayak ga ada kerjaan aja?!” Sambung Cok.
“Ye.. mau gue laundry dulu.” Cok hanya menjawab “O..”
“Habis masa orangnya cakep, tasnya buruk rupa?” Jelas Dian pada Cok. Cok hanya tersenyum.
“Iya, Diandra yang baek, nanti gue sampein ma Hendra Yana Utomo, yah?” Dian hanya mengacungkan jempolnya pada Cok.
“Gue duluan Cok!” Cok melambaikan tangannya pada Dian.
Di parkiran SMA Smanela yang super duper luas, Virga lagi nunggu-nunggu Hendra untuk meminta klarifikasi kejadian jam istirahat tadi. Virga resah sekali, ia ga nyangka hubungan mereka yang hampir dua tahun itu kini terusik oleh datangnya seorang Diandra yang buruk rupa!
Mati kesal kalo Virga mengingat gimana Dian memeluk pinggang Hendra dengan mesra. Bolak balik ia melihat jam tangannya. Berdiri, duduk, melihat jam. Perbuatan itu diulang berkali-kali.
“Duh.. lama banget sih si Hendra, apa dia lagi ngobrol sama Diandra ya..?” Gadis manis itu menghela nafas beratnya. Dia tiba-tiba tersenyum melihat sekelebatan tas kuning Hendra.
Eh, tuh Hendra bukan ya? Gadis itu berusaha memanjang-manjangkan lehernya untuk mencari wajah Hendra dan tas kuningnya di tengah-tengah segerombolan siswa SMA Smanela yang riuh ramai.
“Lo?!” Air muka Virga langsung berubah saat Ia mengetahui bahwa tas kuning Hendra sedang bertengger dengan manisnya di bahu Dian. Siang yang panas itu menambah panasnya hati Virga. Ia bahkan tak tahu apa yang harus diucapkan pada makhluk buruk rupa seperti Diandra. Dian yang tak menyadari dirinya dipandangi, bersikap sangat wajar. Walaupun instinctnya mengatakan bahwa ada yang memperhatikannya. Akhirnya tak sengaja mata mereka bertautan dari jarak jauh. Dian mendadak gugup, namun ia berusaha tenang menatap Virga, bahkan Dian memberanikan diri untuk tersenyum dan melambaikan tangan pada Virga. Senyum Dian malah dibalas oleh pandangan penuh amarah. Virga kesal sekali siang itu, gadis itu menghentakkan kaki dengan kesal, lalu dengan setengah berlari ia menuju mobilnya dan hanya meninggalkan debu-debu mobilnya untuk (yang tidak sengaja) mengotori wajah Dian.
Dian memandangi tas kuning Hendra yang menyelempang di pundaknya.
“Gara-gara kamu ya si Virga marah?” Dian menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dasar, tas kuning bulukan” gerutunya sambil menghidupkan motornya dan memacu gasnya dengan sedikit kencang. Di perjalanan menuju rumah, Dian menyempatkan diri untuk mampir ke Laundry. Gadis itu menitipkan tas Hendra disitu, sambil berpesan manis dengan penjaga laundry.
“Mbak.., musti bersih dan wangi.. ya?” Si penjaga malah menjawabnya dengan jutek, “Ga usah kaya iklan gitu lage.. Mbak.? Dijamin super duper bersih en wangi!” Dian manyun, dan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan senyum lega.
“Saras.., tas ku udah kamu selametin kan?” Ujar Hendra dari ujung sebrang telfon Dian sore itu.
“Udah!” jawab Dian manyun.
“Kenapa kamu ga suruh Virga aja sih?”
“Lo? Emang dia liat kamu bawa tas aku, Saras?” Jawab Hendra, ada nada panik dalam pernah suaranya
“Ya..iyalah, Hen….!” Balas Dian.
“Aduh…Di, mati deh aku…”
“Emang kenapa Hen..?” Dian bener-bener completely, totally, kagak ngarti dengan maksud Hendra.
“Mm… Gini Di, tas itu hadiah ultah dari Virga untuk aku. Dan aku musti tiap hari pake tas itu, kalo aku ga make, berarti aku udah ga sayang lagi ma dia….” Kata Hendra dengan lemah dan pasrah.
“Oh.., pantes tas itu bulukan banget, ga pernah diganti dan ga pernah dicuci! Ck…Ck..” Di sebrang sana Hendra benar-benar manyun medengar komentar Dian.
“Hen.. Hen, coba kamu lihat, tatapan matanya Virga, serem banget tau waktu mandang tas kuning bulukanmu itu…” lanjut Dian.
“Di…, please, kembaliin donk sekarang tas itu, biar besok aku bisa pake ke sekolah.” Balas Hendra. Dian terkejut.
Aduh, gemana ya.. Tas kuning itu kan masih di Laundry. Dua hari lagi baru kelar, musim hujan-hujan lagi…Waduh!
“Hen… kayaknya aku ga bisa bawa tas kamu besok..” Ujar Dian takut-takut.
“Kenapa, Di?”
“Yah… masih aku cuci. Mungkin tiga hari lagi?” Hendra tiba-tiba tertawa ngakak.
“Ha..ha..ha, kamu cuci, Di? Gila kamu!”
Dian mengkerutkan keningnya, “Heh! Udah dibantuin nyuci, kamu bilang aku gila! Kebangetan kamu Hen…!” hardiknya- pura-pura marah sih, ceritanya.
“Makasi ya Di, ga pa pa dech. Biar aku yang ngomong ma Virga. Kalo mau, kamu boleh pinjem kok, untuk seminggu aja.” Ujar Hendra ramah.
“Oya? Kenapa? Ga takut disemprot ma cewek kamu, Hen?” Tanya Dian.
“Biarin deh. Kapan dia mau belajar dewasa, dah gede gitu, sifat masih balita…” Dian Cuma bengong denger statement Hendra waktu itu.
“Lagian.. aku juga pengen nyoba tas baru yang dibeliin Ibu buat aku.”
Dian mengangguk-angguk kecil. (Bodoh, ya? Lagian Hendra juga ga liat)
“Ya udah, seneng denger kamu udah bisa nelfon aku, Hen..” Kata Dian.
“Yup, makasi juga udah susah-susah nyuci tasku.” Dian hanya tersenyum. “See you besok yaa..” akhirnya terucap juga kalimat yang mampu menghentikan percakapan mereka sore itu.
Di seberang telfon, Hendra tersenyum-senyum sendiri memikirkan Dian. Kenapa rasanya sangat nyaman berbicara dengan Dian.. ga seperti Virga.
Seandainya Dian bukan…
”Hen..! Ayo sini, jangan nelfon kelamaan!” Lamunan Hendra pun tak sempat diselesaikan, karena Ibunya sudah mulai cerewet lagi memanggilnya untuk minum obat.
2 comments:
sip....next....
langsung dapet award karena tulisan ini langsung kunjungan ke blog saya buat liat blognya
Post a Comment