-- jangan tanya saya ya.. baca dulu bagian 1 nya.. baru baca bagian ini -- (ketauan banget males buat ringkasan....) ;)
“Diandra!”
Dian menoleh ke sumber suara itu. Hah, kenapa cewek secantik dan sepiter Virga manggil gue dengan penuh nafsu gitu sih? Apa dia mau nanyain PR? Ah.. ga mungkin..
“Dian..”
“Eh, tumben Vir. Ada perlu apa?” tanya Dian lembut.
“Beneran kamu ga ada hubungan apa-apa dengan Hendra?” Semprot Virga tanpa permisi. Astaga.. pertanyaan basi. Kemana aja lo, girl..?!
Dian menaikkan satu alisnya.
“Vir… kamu ngerasa ga sih jadi ceweknya Hendra..?” Tanya Dian.
“Ssst….!” Seru Virga sambil menutup mulut Dian dengan spontan.
“Apaan sih, Vir?!” Bisik Dian dengan sewot.
“Duh, jangan sampe orang lain tau, kalo gue ceweknya Hendra, Di..” Bisik Virga. “Emangnya kenapa?” Cecar Dian.
“Pokoknya, engga. Sodara gue kan sekolah disini. Kalo dia tahu, dia bakal cerita sama mama gue, Di.”
Dian hanya menjawabnya dengan gerakan bibir membentuk huruf “O”.
“Please ya Dian, jangan bilang siapa-siapa.” Mohon Virga pada gadis mungil itu.
Dian hanya tersenyum. “Iya, gue bukan nenek sihir yang bisa nyebarin wabah gosip.” Ga kaya elu yang ngegosipin gue ma si Hendra. Lanjutnya dalam hati.
“Memangnya kalian backstreet?” Tanya Dian. Virga hanya mengangguk pasrah.
“Kenapa musti backstreet?” “Kita ini udah SMA, wajar donk kalo punya pacar, Vir?” Virga hanya terdiam dan membenahi kacamatanya. Hatinya juga setuju dengan apa yang dikatakan oleh Dian.
“Iya sih.., tapi Mama gue belum ngijinin gue pacaran sampai gue kuliah nanti.” Kata Virga sambil memandang Dian dengan lembut.
“Gile.. lama amat si Hendra harus nunggu, kasian yah..?” sambung Dian.
Tet……Tet………!!! Suara bel masuk yang amat sangat nyaring, mengganggu pembicaraan mereka.
“Makasi, Dian.” Ucap Virga kala itu.
Dian hanya menaikkan bahu dan tersenyum pada Virga. Kedua gadis itu kembali ke kelas dengan pikiran mereka masing-masing.
Jam istirahat kedua, Hendra mendadak mendatangi kelas Dian. Saat itu, Dian sedang seru menyalin jawaban PR Kimia yang bakal dikumpul jam terakhir. Tia menyikut sikunya, “Di, sephia lo tuh dateng..” Bisiknya.
Dian mengkerutkan alisnya sambil memelototkan matanya,
“Tsk! Dia temen gue, lo macem-macem aja sih, Ti?” Protesnya.
“Di.., sibuk?” potong Hendra.
Dian hanya melihat sekilas senyuman Hendra, membalas senyuman si pangeran berkuda putih itu, dan dengan cueknya Dian tetep menyalin PR Kimianya.
“Kenapa Hen, aku musti nyalin PR nya Pak Raka nich…Kalo ga buat bisa ga dikasi nilai tau..” Hendra hanya berdiam di sebelah Dian dan memberikan isyarat pada Tia untuk minggir sejenak. Tia dengan manyunnya keluar kelas, tapi stand by di depan pintu kelas. Mau ngintip ceritanya. Dian agak sedikit terkejut mendapati Hendra sudah duduk di sampingnya. Hendra menelungkupkan tangannya di meja Tia. Dian hanya memandanginya dengan heran. Ia memberanikan diri untuk menyentuh lengan Hendra.
“Hen… ada apa?”
“Kepala gue pening, Di..” Sahut Hendra lemah.
“Loh, kamu ga baiknya pulang aja?” sahut Dian sambil memegang kening Hendra.
“Aw…” jeritnya sambil mengipas-ngipas jemarinya.
“Gila kamu, Hen.. Ini namanya demam!” Hardik Dian.
“O gitu ya?” Balas Hendra.
“Aduh.., kamu begonya ga ilang-ilang.” Hendra tidak menjawab sedikit pun omongan Dian. Ia hanya terdiam.
“Aku anter ke UKS ya..?” Hendra menggelengkan kepalanya keras-keras. Dian menghela nafas.
“Untuk sementara, nanti biar aku telfon Ibu kamu ya? Biar dijemput.”
Hendra tersenyum tipis. “Itu yang aku tunggu-tunggu Di. Pulsaku kan habis, Jadi..”
“Oh.. jadi maksud kamu ke kelas aku Cuma untuk minta pulsa?”
“He.eh” sahut Hendra.
Dian menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ayo Hen, kita ke UKS.” Ajak Dian.
“Loh.. papah aku donk, nanti aku bisa pingsan..” rajuk Hendra.
Dian mengulurkan tangannya, dan mencoba memeluk Hendra untuk membantunya berjalan. Hendra menoleh pada tangan Dian yang melingkar di pinggangnya.
“Terimakasih ya, sayang…” candanya. Mata Dian lagi-lagi melotot padanya sembari mencubit pinggangnya.
Tak sengaja pemandangan itu dilihat oleh Virga. Gadis itu berdiri mematung di pintu kelas tepat disamping Tia. Tia terkejut melihat Virga di sampingnya, namun baru saja Tia akan memberikan penjelasan, Virga telah berlari ke kelasnya.
“Makasih, Di.. Kamu selalu baik sama aku.” Kata Hendra di tempat tidur UKS. Dian tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Bentar ya, aku telfon Ibu kamu.” Hendra mengangguk lemah. Beberapa menit kemudian, Dian kembali ke UKS.
“Hen, bentar lagi Ibu kamu jemput. Dia kawatir banget tau.” Bisik Dian. Eh, Hendra sudah tidur. Cakep banget sih dia. Seandainya dia bukan…”
Di…” Sontak Dian terkejut mendengar suara Hendra.
“Aku lupa.., nanti tolong kasi kunci motor aku ma si Cok ya..”
“Eh, iya Hen. Mana kuncinya?” Hendra merogoh kantongnya dan memberikan kunci berisi gantungan kuda putih kecil yang terbuat dari kristal. Dian terkejut menerima kunci itu.
“Hen.. ini kan gantungan kunci yang aku kasih sebelum aku pergi ke Kendari dulu kan?”
Hendra hanya tersenyum dan tampak terlihat matanya yang berat, dan Ia tertidur dengan tenang di UKS. Dian tersenyum, Ia benar-benar tak menyangka Hendra masih menyimpan apa yang Ia berikan. Pangeran berkuda putihku yang manis…Bisik Dian dalam hati. Dian menatap sejenak Hendra yang sedang tertidur manis, sebelum Ia kembali ke kelasnya.
“Di, elo tau ga? Si Virga tadi tau lho… si Hendra nyariin elo ke kelas.” Bisik Tia saat Dian kembali ke kelas.
“Ah, masa iya?” Balas Dian tak percaya.
“Serius gueh.” Kata Tia sambil mengacungkan kedua jarinya.
“Aneh ya, kalo dia mau ke kantin kan ga perlu lewat kelas kita, lagian tadi waktu aku nganter Hendra ke UKS kan ga lewat kelasnya…” kata Dian. “Tapi…” “O, ya. Apalagi pas gue nganter Hendra, bel masuk udah bunyi, Ti.” Sela Dian.
“Tapi Di, Virga tu berdiri di samping gue dan melongo ngeliatin adegan mesra lo ma si Hendra, tau…” bales Tia sewot.
“Kok aneh ya si Vir…”
Takkkk!
Sebuah kapur sukses mendarat di atas meja Dian dan Tia. “Diandra, Astia, sudah selesai rapatnya?” ujar Pak Raka guru kimia ter-killer di SMA Smanela. Dengan takut-takut kedua gadis itu memandangi guru kimia mereka. “Su..sudah Pak.” Jawab Dian dengan suara yang menyiratkan ketakutannya pada Pak Raka.
“Oh, bagus kalo sudah selesai.” Balas Pak Raka sambil memelintir kumisnya yang menambah ke-killerannya.
“Kalo begitu, Diandra silahkan maju ke depan, kerjakan soal no 3.” Ujar Pak Raka dengan nada yang super tegas. Dian terpaku tak bergeming di bangkunya. Dengan pasrahnya Ia berjalan ke depan kelas. Mati aku…
1 comment:
lanjut gan....
Post a Comment