Cerpen ini ternyata kepanjangan untuk dimuat di salah satu harian kota. Jadinya, ditolak. Sedihnya.. (T.T)
Cerita ini diambil dari kisah nyata saat SMU, asem manis cinta, semua ada di sana. hehehe!
Dian menghela nafas berkali-kali, sambil terus-menerus melihat jam tangan biru yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya.
“Duh…, reseh juga nie si Tia! Kenapa lama banget sih di kelasnya, dia pikir gue punya waktu banyak apa!”
Gadis itu terus menerus memandangi koridor kelas I yang saat ini masih penuh juga siswa-siswi berlalu-lalang, sambil mencari-cari wajah yang ia tunggu-tunggu. Gadis mungil itu mengusap keningnya yang mulai berkeringat. Ia memangku dagunya dengan tangan yang satunya. “hah…” Helanya, mulai tak sabaran menunggu.
“Cewek, boleh aku duduk disini..?”
Tiba-tiba ada suara cowok kece yang berbisik di kupingnya.
“Eh, Hendra. Duduk aja, pake nanya kamu, gaya sekalee…” jawab Dian dengan manis.
“Kamu nunggu siapa, Hen?” tanya Dian.
“Gue nunggu si Cok, gile lama amat di kelas.”
Ujar Hendra sambil mengipas-ngipas wajahnya menggunakan tangannya.
“Kapan ya SMA Smanela ini turun salju, Di?” sela Hendra tiba-tiba.
Yang ditanya malah memelototkan matanya ke arah cowok kece itu, tersenyum, dan tiba-tiba ketawa ngakak keras dengan tanpa dosa.
“Aduh, Hen…Hen… Kamu cakep-cakep bego dech, swear!” jerit Dian di sela-sela tertawanya.
“Ye… aku serius nih Di..” kata Hendra dengan tampang manyun.
Dian masih saja belum selesai tertawa, sekarang malah gadis mungil itu memegang perutnya yang mulai sakit.
“Sstt…. diem Di, malu tuh, semua orang ngeliatin kita bego!” Bisik Hendra sambil menutup mulut Dian dengan sebelah tangannya.
“Ah, Hendra! Tangan kamu penuh kuman tau…!” Ujar Dian seraya melepaskan tangan Hendra yang bertengger di bibirnya.
Tak sengaja, tangan mereka pun saling menggengam tangan masing-masing. Mata Dian dan Hendra bertautan seperti menyimpan rindu yang dalam. Mereka tersenyum dan membiarkan tangan mereka saling berpegangan. Bahkan ketika Tia dan Cok datang mereka berdua malah tersenyum malu-malu, saling bertatapan, dan melepas genggaman tangan mereka dengan rasa tidak rela.
Pemandangan mesra oleh dua orang sohib itu pun mengundang decak kagum, gemes, dan iri dari hampir 80% siswi SMA Smanela. Siapa sich yang ga ingin deket dengan Hendra? Murid cowok baru yang keren, dengan sinar mata hangat, bibir sensual, dan raut wajah yang bersahabat. Di sisi lain, siapa yang ga kenal dengan gadis mungil kelas bontot, rambut kriwel-kriwel dengan muka penuh jerawat-jerawat abg disana-sini bernama lengkap Diandra? Malah hari ini, berhembus gosip dengan santer bahwa Dian si buruk rupa jadian dengan Hendra si pangeran berkuda putih!
Setiap hari semua anak kelas I, seru membahas hubungan Dian dan Hendra. Ada yang bertanya dengan nada heboh, nada kurang ajar, bahkan dengan nada yang rada mistis… ”Dian, lo pake susuk apa buat bikin Hendra nempel sama lo..?” Yang ditanya malah mengerutkan alis dan menjawab dengan jahilnya,
“Pake susuk konde donk.. rambutku kan ga direbonding..?”
Namun ada juga yang super duper sewot sama hubungan mereka, contohnya si Virga. Sore itu, gadis berkulit bersih bermata empat itu menyambangi rumah Hendra.
“Hen, aku mau ngomong..” rajuk gadis itu mencoba menarik perhatian Hendra.
“Kenapa sih Ga, kita ada masalah apa? Tumben kamu sampe nyamperin aku ke rumah..” Tanya Hendra dengan santai sambil mengelap sepeda motornya.
“Ga ada masalah, Hen. Hanya saja aku ingin bertanya tentang hubungan kamu dengan….”
“Diandra?” sela Hendra.
Virga mengatupkan bibirnya dan menjawabnya dengan anggukan kepala. Hendra tersenyum. Hati Virga berubah menjadi tak karuan melihat senyuman si pangeran berkuda putih.
“Jadi kamu percaya dengan omongan teman-temanmu yang centil itu, Ga?”
“Bu..bukannya aku percaya sama mereka, tapi mereka liat sendiri kamu pegangan tangan dengan si buruk ru…eh! Dengan Dian maksudku..” Jawab Virga terbata-bata.
Aduh.. gue keceplosan lagi, hampir bilang si Dian buruk rupa! Bisiknya dalam hati.
Hendra mengernyitkan alisnya. “Kamu bilang apa si Dian? Buruk Rupa?” Kata Hendra sambil menatap tepat kearah mata Virga.
Virga memalingkan wajahnya dan mulai menggigit bibirnya.
“Eh.. aku kan ga bilang gitu, Hen..” katanya pelan mencoba membuat pembelaan.
“Vir, kamu ga boleh nilai siapa pun dari luarnya!” Kata Hendra dengan volume suara yang dikeraskan.
“Diandra itu…. seseorang yang dekat denganku, dia ga pantes untuk kamu curigai…!” Hendra mengatur nafasnya sejenak.
“Dan dia sama sekali ga buruk rupa.. dan aku…”
“dan kamu mencintainya?” sambung Virga tanpa permisi.
“Virga! Ga ada seorang pun yang bisa ngubah hubungan kita, ngerti kamu?!” Bentak Hendra sambil melempar lap motornya dengan gemas.
Virga berdiri mematung. Seumur-umur, Hendra tidak pernah membentaknya sepeti ini.. Hendra menghela nafas, mencoba menenangkan emosinya. “Sudahlah, Vir, kamu pulang saja. Pikirkan lagi tentang aku, kamu, dan Diandra.” Virga hanya menatapnya tanpa berkata sepatah katapun.
“Kenapa?”
“Kamu perlu waktu untuk belajar tidak mempercayai omongan orang, Vir.” Kata Hendra sambil memeluk pundak Virga.
Setengah memaksa, akhirnya Hendra berhasil menyeret Virga ke pintu gerbang rumahnya. “Sampai ketemu, Vir.” Ujar Hendra sopan.
Virga menekuk wajahnya, Hendra bahkan tidak mencium keningnya seperti biasa. Dengan hati yang panas, Virga memasuki pintu mobilnya, dan membanting pintu dengan kasarnya. Dengan terburu-buru gadis itu memutar kunci kontak mobilnya dan cepat-cepat menginjak pedal gas. Hendra hanya geleng-geleng kepala saja melihat ulah kekasihnya yang Ia anggap sangat kekanak-kanakan itu. Speechless…
1 comment:
kalo memang kepanjangan coba direvisi. lebih pendek lagi terus kirim lagi ke majalah lain.
Post a Comment