“Kamu beli yang pick up new atau yang second, sist?”
“yang new..!”
“Oh ya? Wow. Hebat nih.. Berapa?”
“98 jeti”
“lumayan ya… “
“Ho oh, but I like the new one.”
“Sudah jalan kemana aja?”
“Wah belum…. Belum waktunya, masih cari hari baik untuk diupacarai.”
“Lah.. kalo ke pasar gimana?”
“Yah, masih nyewa mobil dan sopir, Gek.. hahaha”
“Hebat ya kamu.. “
“ahhh.. it’s just nothing.”
…………….. diam sembari mengetik dan konsentrasi di depan computer masing-masing, semenit kemudian……………
“em.. Gek, tau kos-kosan murah deket-deket sini ga?”
“Kenapa sist? Lu mau pindah lagi?”
“Enggak, untuk pegawaiku… “
(Naikin alis)
“Em.. emang udah berapa punya pegawai?”
“Sekarang mau tambah lagi dua, aku bingung mereka mau tinggal di mana, ya….”
“orang mana pegawaimu..?”
“mbuh…”
“piye toh?”
“La.. wong ibuku kok yang nyariin pegawai…”
“Oh.. jadi semua pegawaimu dari Kediri gitu??”
“ho oh.. para tetangga atau temen sedesa yang nganggur-nganggur gitu gek..”
“Trus, pegawaimu kerjanya apa?”
“Ya nyari barang ke pasar, kirim barang sama sopirnya, nyari pesenan lagi.. kirim pesenan gitu deh.. sementara aku kan kerja, jadi mereka laporan sama aku via telfon, gitu Gek..”
“Hebat ya kamu…” (for the second time)
“ahahahha, it’s just nothing.”
“Tahun depan pas kamu ke Australi, sapa donk yang gantiin kerjaan kamu?”
“Oh.. si Elsa.”
“Sapa tuh?”
“Itu temenku yang kos di depan kantor kita.” Katanya sembari kembali ke pekerjaannya memeriksa tugas murid-muridnya yang.. dia bilang.. “it’s a never ending process…”
……………….
Percakapan ini baru terjadi beberapa hari yang lalu tetapi mengganggu sekali di pikiran saya. Dia adalah teman baik saya di kantor, lebih dari itu sih, dia seperti saudara saya, kakak perempuan saya yang nyasar terlahir di Kediri, Jawa.
Dia pop-in aja ke hidup saya dua tahun yang lalu, we’ve spent days together and we always said.. “kita adalah saudara perempuan yang terpisah..”
Namun semenjak saya menikah, dia lebih banyak berdiam diri. Tidak lagi mengajak saya jalan-jalan mencari bakso ayam. Tidak lagi mengajak saya mencari oleh-oleh untuk keluarganya di Kediri.
Tau-tau.. dia sudah membangun bisnis sendiri sebagai seorang supplier. Mulai dari terjun ke lapangan sendiri, mulai dari jam 4 pagi, berkutat dengan bahan-bahan sembako, mengantar ke hotel dan restoran, hingga akhirnya setelah satu setengah tahun.. bisa berbuah satu pick up dan tiga pegawai, belum lagi prestasi kerjanya di kantor saya yang terus meningkat.
Dia sungguh hebat, saya sungguh salut. Satu lagi.. I’m jealous.. huaaaa huaaaaaa.. *nangis bombay
Dia yang merantau dari pulau sebrang, mudah sekali mencari jalan bisnis di Bali, sementara saya yang hidup di Bali lebih dari 20 tahun, tidak bisa mencari peluang bisnis!!!
Saya engga mengerti, kenapa hati saya engga tergugah untuk menciptakan sendiri peluang bisnis itu. Padahal kalau saya mau, saya bisa. Kenapa tangan dan kaki saya tidak tergerak???
Suami saya mencoba menghibur saya dengan.. “Gek, kita kan selalu ada urusan menyama braya. Di Desa, di banjar.. hal itu yang mengikat kita. Makanya otak kita buntu…..”
“Satu lagi Gek, kamu seorang Ibu.”
Saya terdiam. Saya membenarkan ucapan suami saya itu. Namun, tetap saja saya jujur pada diri saya sendiri, kalau saya merasa iri.. walaupun I doooo… really love her.
Yah..seperti yang ayah saya selalu bilang.. jodoh, rejeki, hidup, mati, sudah diatur oleh Tuhan.. saya ingin lurus-lurus dulu menjalani hidup sebagai seorang ibu. Setidaknya kelak, saya pasti bisa mengejarnya. Mewujudkan cita-cita yang tertunda, menjadikan mimpi-mimpi masa depan menjadi nyata.. Astungkara!
#postingan yang sok bijaksana.. hahaha.. have a nice day everyone.