Friday, November 20, 2009

E-mail buat Tuhan




Pagi ini tumben-tumbenan membuka e-mail official kantor di rumah. Seperti biasa ada e-mail informasi dari kepala sekolah, dari guru-guru tertentu tentang up date perkembangan sekolah, sampai hasil arisan sekolah! Tapi ada satu e-mail yang lanjut memaksa jariku untuk menekan dan tidak sabar membacanya.

Judul e-mailnya sih.. Re : Apa kabar, Gek?
Sudah jelas merupakan e-mail balasan. Berharap e-mail itu dari Ibu Linda (guru di sekolah yang sedang berlibur di Paris selama dua bulan - gilee bener!) tapi ternyata dari Guru sekolah yang satunya, Bu Nana.

E-mailnya singkat-padat- dan jelas ; tentu saja tidak menggambarkan atau mendeskripsikan orangnya sama sekali. Terdiri dari dua kalimat.

" Keponakan saya akan menikah tanggal 4 Oktober 2010 "

Alisku bertaut membaca baris pertama ini. Apa hubungannya pernikahan keponakan Bu Nana dengan ku?

Baris kedua membuatku bengong.
"Kapan tanggal pernikahanmu Gek? - kalau bisa dekat-dekat tanggal itu, agar saya bisa sekalian berkunjung.."

Aku tergelak, memangnya aku tahu tanggal pernikahanku? Seharusnya ini e-mail untuk Tuhan, Bu Nana.. bukan untuk aku!

Tuhan- kapan tanggal pernikahan Gek, nanti tolong beritahu Ibu Nana ya..

* Bagi yang sudah merasa baca catatan ini.. dilarang berkomentar. Hehe…

Thursday, November 19, 2009

Elegi sebuah kaos (bagian 2)

Kejadian sebelumnya : diintip disini

Perjuangan seorang pria untuk mendekati seorang wanita dengan mengandalkan vespa biru bututnya – namun si wanita tidak jua pernah mau diajak plesir dengan vespa itu. Belum lagi si pria membuat perjuangan si wanita sia-sia dengan gurauannya yang keterlaluan.. Ada apa dengan mereka?

Dan aku masih berdiri di depan pintu gerbang neraka ke delapan belas. Mengatur nafas dan menahan diriku untuk tidak mengambil belati dan menyayatkannya ke dalam nadiku. Inginnya kutikam saja pria itu, agar bisa kulihat, apa ada seonggok cinta untukku di hatinya. Tanganku gemetar menahan amarah – hanya bisa mengenggam bulir embun agar tidak turun dengan menatap bulan yang seolah tersenyum mengejekku.

***
Tidak.
Aku tidak mau baca pesan darinya. Biarkan saja menumpuk di telfon genggamku yang ketinggalan jaman. Biarkan saja dia mengendap disana, sampai banjir pun tidak akan bisa menghanyutkan amarah yang menggelayut di hati.

Lelah.
Lelah juga mengacuhkannya- sudah dua malam minggu tidak mendengar kendaraan butut itu. Sudah lebih dari puluhan pesan di telfon genggamku – ratusan panggilan yang tak terjawab. Namun – mengapa amarah ini tak meluber juga. Malahan kalimat yang dia ucapkan semakin terngiang-ngiang di telinga. Membawa mimpi buruk setiap malam.
Mata beningku lenyap sudah. Hanya ada garis-garis kesedihan disana yang telah terukir sejak kuusir dia dari rumahku. Garis senyuman yang biasanya terlihat jelas, kali ini menghilang. Jangan tanya aku, mengapa bisa begitu.

Menyerah?
Masa aku harus menyerah?? Aku tidak sudi. Aku bukan kumbang, dan dia bukan bunga. Dia yang seharusnya mencariku, dia seharusnya yang terbang ke padaku – walaupun hujan menggugurkanku, angin meniupku ke pelosok terjal – seharusnya dia bisa datang padaku. Mana ada takdir yang menciptakan sebuah bunga yang tiba-tiba mempunyai sayap dan terbang ke langit biru – bertanya kepada awan – hingga kepanasan dicaci oleh Matahari yang mengingatkan “Bukanlah bunga hinggapi Kumbang….!” Aku terpaku nelangsa ..

Sampai akhirnya terdengar olehku – suara vespa birunya yang membuat telingaku marah – dan asapnya jelas mampu membuatku sesak dalam sedetik.

Namun kupaksakan diri untuk keluar – menemuimu. Ingin tahu lagi, seberapa jauh usaha kita untuk memperbaiki hubungan ini. Langkahku gontai, sisa amarah masih tampak jelas dalam sudut hati – namun rasa rindu mengetuk-ngetuk pintu maaf ku.

Dia berdiri disana – tidak, aku tidak berlari lagi melainkan berjalan lambat-lambat. Tanpa senyum. Dia menatap mataku – yang mampu membuat jantungku tertikam. Ah, cinta – selalu menyakitkan, pikirku.

Hei, dia mengenakan baju kaos itu.. Baju kaos bekas bergambar sebuah vespa biru yang kucari susah payah penuh perjuangan, yang hanya mendapatkan sebuah gurauan setajam sembilu tanpa terima kasih. Kembali aku rasakan ketukan halus pada pintu maaf di sudut hati.

Dia tidak berbicara sepatah katapun, digamitnya kedua tanganku dan menyelipkan selembar kertas. Lalu pria itu mundur selangkah, memberiku waktu untuk membaca tulisan cakar ayamnya yang tergores dengan lugu dan lugas…

Memang aku punya vespa buntut yang berisik dan asap mengepul dari lubang knalpotnya yang kecil, tapi aku dak gengsi kok pakai baju bekas yang hanya beli di loakan,apa lagi sudah dicuci seperti baru lagi. Aku pakai lebih nyaman dan wangi,daripada aku pakai baju baru kalo tidak nyaman dipakai, buat apa?


Aku tau vespa butut ku buat kamu sesak nafas, dan bisa membuat asma mu kambuh tapi kamu sadari juga kalo vespa ku itu sangat berjuang untuk mendapatkan sebuah cinta yang tak pernah kita ungkap.


Aku akan memakai baju bekas bergambar vespa biru itu seperti separuh nyawaku dan semoga hanya maut yang bisa memisahkan aku dengan baju bekas itu.”


Aku tak tahan untuk tidak tersenyum atau tidak menangis. Aku lakukan saja keduanya. Dia telah membawakan kunci pintu maaf untuk hatiku dan membukanya dengan apik walaupun sedikit berlebihan. Dia menyadarkanku kalau aku mencintainya – karena hanya cinta yang selalu mampu memberikan maaf..

Belum sempat membaca ulang sederetan kalimat lugu miliknya – Dia berbisik tegas di telingaku..


“Will you be my girl friend?”