Thursday, November 8, 2012

Painless..



That’s what all doctors have to do. Not to cure their own family.
 – House 7

Saya kira kalimat ini, hanyalah hayalan belaka. Mana ada dokter yang ingin mundur dari kasus pengobatan keluarganya sendiri. Mana ada dokter yang tidak mengutamakan keluarganya, mana ada dokter yang takut mengobati keluarganya sendiri… 

Ternyata, kalimat itu, bukan scenario dari sebuah film yang saya tonton di televisi saja… ternyata kalimat itu adalah penggambaran realita yang terjadi, dan bahkan saya alami sendiri. 

Saya ingat, waktu saya demam tinggi dan pucat pasi, bapak saya yang notabene dokter spesialis penyakit dalam hanya diam saja, tetap bertahan di kursi kesayangannya, menonton TV – dengan sengaja mengeraskan volumenya agar suara rintihan kesakitan saya tidak terdengar. Sampai saya mematikan TV, “Pokoknya ke UGD, sekarang!!!!!” 

Sesampainya di UGD… saya ditinggal di receptionist sambil menahan sakit. Tidak bisa bicara lagi, hanya tetesan air mata yang saya berikan kepada penjaga yang super cueknya minta ampun. Sementara menunggu ayah yang memarkirkan mobil, *entah dimana….* 

Saya duduk di kursi pinggir UGD menahan sakit. Sayup-sayup saya dengar ayah saya bicara, “tangani anak saya dulu.” Setelah itu, yang saya ingat, saya ada di salah satu bilik UGD, menunggu hasil pemeriksaan darah. Saya belum makan siang, dan itu menjelang magrib… 

“Pa, lapar.” Bisik saya. 

“terus?” ujar ayah saya lagi, sambil melanjutkan membaca Koran. Tanpa melihat saya. 

“Yah, nunggu mati  aja kelaparan” jawab saya ketus. 

Akhirnya beringsut ayah saya keluar, mungkin ke kantin ya.. beli roti. Yang saya harapkan adalah “fresh bread” mungkin yang isinya keju, pisang coklat, atau kismis.. tidak mahal.. paling 5 ribuan. Tapi, impian tinggalah impian.. adanya saya dibelikan roti 500 an, berbungkus plastic bergambar tanpa depkes. Jangan ditanya apakah saya lebih memilih sakit maag akut saya kambuh atau memakan roti “tak bertanggung jawab” itu.. 

Setelah menolak rawat inap, karena ayah saya meyakinkan pihak RS bahwa beliau akan merawat saya di rumah, saya pulang, tanpa tenaga, dehidrasi, karena belum makan seharian dan tidak minum. Badan saya panas tinggi, namun saya merasa sangat dingin.. gigi saya gemeretuk.. dan alih2 menenangkan saya, ayah saya menelfon dukun! Ya.. angel lovers.. D.U.K.U.N. 

Beliau bertanya, apa penyakit saya non medis atau medis. Mbah dukun bilang, semua murni medis. Setelah itu, telfon ditutup, dan ayah saya ngeloyor, menonton TV, membaca buku dengan kaki berselonjor, seraya berkata, “istirahat aja. Nanti saja sembuh” 

He washed his hand. He did it again.again.and again. 

Dalam doa saya.. terus berharap, ayah saya adalah orang biasa, bukan dokter spesialis.
Saya bermimpi, ayah saya adalah orang yang penuh perhatian kepada anak satu-satunya dan bisa mengerti saya seutuhnya.
Saya hanya bisa menghadapi kenyataan bahwa keinginan saya, dan mimpi saya, selalu berbanding terbalik apabila itu mengenai ayah saya........


 You can tell how painful your love to me, but my heart is painless, Dad.

5 comments:

Fajar said...

adakalanya.. itulah fenomena..yang terjadi..kadangkala kita lebih mementingkan diri sendiri..bahkan..orang..lain daripada keluarga kita..

Unknown said...

bapaknya kejem amat ih.

Unknown said...

Ayah Ku Sudah Tiada.. cuma bisa bertemu di mimpi saja

Alan Bekti Anawati said...

mungkin seorang ayah yg seperti itu terlalu takut apabila menangani anaknya sendiri, makanya langsung membawa ke UGD, itu tandanya beliau hati-hati dan tidak mau bermain dengan resiko. percayalah, tak ada orang tua yg tidak menyayangi anaknya...

#Positif thinking ya#

ayie kasturi said...

cara ayah sayang ke anaknya kan bervariasi. hehe..