“That’s what all doctors have to
do. Not to cure their own family.”
– House 7
Saya kira kalimat ini, hanyalah
hayalan belaka. Mana ada dokter yang ingin mundur dari kasus pengobatan
keluarganya sendiri. Mana ada dokter yang tidak mengutamakan keluarganya, mana
ada dokter yang takut mengobati keluarganya sendiri…
Ternyata, kalimat itu, bukan scenario
dari sebuah film yang saya tonton di televisi saja… ternyata kalimat itu adalah
penggambaran realita yang terjadi, dan bahkan saya alami sendiri.
Saya ingat, waktu saya demam
tinggi dan pucat pasi, bapak saya yang notabene dokter spesialis penyakit dalam
hanya diam saja, tetap bertahan di kursi kesayangannya, menonton TV – dengan sengaja
mengeraskan volumenya agar suara rintihan kesakitan saya tidak terdengar. Sampai
saya mematikan TV, “Pokoknya ke UGD, sekarang!!!!!”
Sesampainya di UGD… saya
ditinggal di receptionist sambil menahan sakit. Tidak bisa bicara lagi, hanya
tetesan air mata yang saya berikan kepada penjaga yang super cueknya minta
ampun. Sementara menunggu ayah yang memarkirkan mobil, *entah dimana….*
Saya duduk di kursi pinggir UGD
menahan sakit. Sayup-sayup saya dengar ayah saya bicara, “tangani anak saya
dulu.” Setelah itu, yang saya ingat, saya ada di salah satu bilik UGD, menunggu
hasil pemeriksaan darah. Saya belum makan siang, dan itu menjelang magrib…
“Pa, lapar.” Bisik saya.
“terus?” ujar ayah saya lagi,
sambil melanjutkan membaca Koran. Tanpa melihat saya.
“Yah, nunggu mati aja kelaparan” jawab saya ketus.
Akhirnya beringsut ayah saya
keluar, mungkin ke kantin ya.. beli roti. Yang saya harapkan adalah “fresh bread”
mungkin yang isinya keju, pisang coklat, atau kismis.. tidak mahal.. paling 5
ribuan. Tapi, impian tinggalah impian.. adanya saya dibelikan roti 500 an,
berbungkus plastic bergambar tanpa depkes. Jangan ditanya apakah saya lebih
memilih sakit maag akut saya kambuh atau memakan roti “tak bertanggung jawab”
itu..
Setelah menolak rawat inap,
karena ayah saya meyakinkan pihak RS bahwa beliau akan merawat saya di rumah,
saya pulang, tanpa tenaga, dehidrasi, karena belum makan seharian dan tidak minum.
Badan saya panas tinggi, namun saya merasa sangat dingin.. gigi saya
gemeretuk.. dan alih2 menenangkan saya, ayah saya menelfon dukun! Ya.. angel
lovers.. D.U.K.U.N.
Beliau bertanya, apa penyakit
saya non medis atau medis. Mbah dukun bilang, semua murni medis. Setelah itu,
telfon ditutup, dan ayah saya ngeloyor, menonton TV, membaca buku dengan kaki
berselonjor, seraya berkata, “istirahat aja. Nanti saja sembuh”
He washed his hand. He did it
again.again.and again.
Dalam doa saya.. terus berharap,
ayah saya adalah orang biasa, bukan dokter spesialis.
Saya bermimpi, ayah saya adalah
orang yang penuh perhatian kepada anak satu-satunya dan bisa mengerti saya
seutuhnya.
Saya hanya bisa menghadapi
kenyataan bahwa keinginan saya, dan mimpi saya, selalu berbanding terbalik
apabila itu mengenai ayah saya........
You can tell how painful your
love to me, but my heart is painless, Dad.
5 comments:
adakalanya.. itulah fenomena..yang terjadi..kadangkala kita lebih mementingkan diri sendiri..bahkan..orang..lain daripada keluarga kita..
bapaknya kejem amat ih.
Ayah Ku Sudah Tiada.. cuma bisa bertemu di mimpi saja
mungkin seorang ayah yg seperti itu terlalu takut apabila menangani anaknya sendiri, makanya langsung membawa ke UGD, itu tandanya beliau hati-hati dan tidak mau bermain dengan resiko. percayalah, tak ada orang tua yg tidak menyayangi anaknya...
#Positif thinking ya#
cara ayah sayang ke anaknya kan bervariasi. hehe..
Post a Comment